Senja Terakhir Untuknya Cipt. Ana Rainasiar

Cerpen Senja Terakhir Untuknya - Cipt Ana Rainasiar
Portal Jurnalis.-Tak terasa, 15 tahun sudah aku hidup di dunia ini. Mungkin aku terlahir tak seberuntung orang lain. Aku terlahir untuk selalu diam dan mengurung diri di kamarku yang lebih tepat kusebut penjara. Mungkin karena aku mempunyai penyakit. Tapi, aku tak pernah tau penyakit apa yang bersarang dalam tubuhku. Setiap hari aku harus meminum obat yang tak jelas itu obat apa. Aku tidak bisa bermain seperti teman temanku. Aku hanya bisa memandang mereka dari jendela kamarku. Aku tak tau mengapa orangtuaku melarangku untuk bermain seperti teman temanku. Seberapa berat penyakit yang kualami pun aku tak tau. Yang kurasa setiap hari selalu sama, aku sehat sehat saja.
Matahari mulai menyapaku pagi itu, pagi yang indah, sangat bertentangan dengan hatiku yang begitu sepi. Aku beranjak dari tempat tidurku dengan malas, sangat malas. Aku harus memasang senyum palsu pada guruku yang setiap hari mengajarku disini, di rumahku. Aku tidak bersekolah seperti teman temaku yang lain, aku tidak bisa merasakan kegembiraan seperti teman temanku, bermain sepulang sekolah, belajar bersama, jalan jalan diakhir pekan. Aku hanya bisa memandang indahnya senja, ya itulah hal yang kulakukan setiap hari, melukis saat senja tiba.
“Bu Wita udah datang, sayang. Cepat kamu siap siap” itu adalah suara ibuku. Setiap pagi dia mengingatkanku dengan hal itu. Setiap pagi aku harus belajar dengan bu Wita, guruku yang sangat membosankan.
“Iya, mah, bentar lagi kok” jawabku kesal.
Satu persatu mulai kuturuni tangga. Rasanya tangga ini sudah malas kulalui, seolah mereka berkata “sudah, pergilah dari rumah ini, carilah apa yang kau inginkan”. Tapi, aku tak bisa meninggalkan semua ini, karena aku tidak punya siapapun diluar sana.
Ku melihat seseorang yang tak asing lagi duduk di sofa dengan buku buku tebal, itu adalah bu Wita, guruku. “Selamat pagi Reya, cantik sekali kamu” sapanya yang kurasa itu adalah kebohongan belaka. Karna, pagi ini aku tak mandi dan masih memakai piyamaku. “Reya, kenapa masih pake piyama, apa kamu gak mandi dulu?” tanya ibuku setengah kesal. “Untuk apa? Yang kutemui tiap hari hanya seorang guru saja, gak perlu mandi juga gakpapa” jawabku tak kalah kesal. ”Aku pengen sekolah kaya anak normal yang lainnya, bu. Kenapa aku gak bisa sekolah? Apa aku cacat? Sekarang ibu lihat aku, apa yang salah denganku? Aku sama seperti mereka. Aku juga berhak untuk sekolah, bu” aku menangis,begitupun ibuku. Segera aku berlari menuju kamarku. Aku menangis.
 Entah keajaiban apa yang terjadi, seketika itu pula hujan turun. Hal yang ku benci. Hujan pernah mengambil indahnya senja dariku. Aku benci hujan.
*****
“Sayang, makan dulu nak, dari tadi pagi kamu belum makan” ibuku memanggilku dari balik pintu. Aku terbangun dan segera ku lihat jam sudah menunjukan pukul 7 malam. Sial, aku kehilangan senjaku hari ini gumamku kesal.
Aku membuka pintu dan melihat ibuku berdiri dengan wajah penuh kasih. Pancaran matanya menunjukan bahwa dia sangat menyayangiku, aku tau itu. Tapi mengapa dia selalu melarangku keluar dari rumah? Apa itu cara dia mengungkapkan rasa sayangnya padaku?
“Setelah makan malam nanti, ibu sama ayah mau bicara sama kamu”. Degg! Aku takut papaku memarahiku atas sikapku tadi pagi. Tapi, apa salah jika aku menuntut hak-ku yang tak mereka berikan padaku? Apa aku salah?. Mendengar ucapan ibuku tadi, aku hanya mengangguk.
Kulihat makan malam hari ini berbeda rasanya. Kulihat ayahku sudah duduk di ruang makan. Ayahku menoleh padaku, dan tersenyum manis. Aku bingung. Mengapa dia tidak memarahiku karna sikapku tadi pagi.
Makan malam kami lalalui dengan penuh keheningan. Tak satupun kata yang terucap dari bibir kami. Hanya sesekali terdengar suara sendok yang beradu dengan piring. Sangat sunyi. Ingin sekali aku mengakhiri makan malam ini.
Makan malamku sudah usai. Aku ingin segera kembali ke kamarku dan segera tidur untuk sedikit menenangkan kegelisahanku ini.  Aku beranjak dari kursiku dan ibuku menahanku untuk tetap duduk. Ya, apa boleh buat aku kembali duduk di kursi yang mulai terasa panas itu.
Aku takut dengan apa yang akan diucapkan mereka padaku. “Sayang” ayahku memecah keheningan malam itu. Udara saat itu berubah menjadi dingin, seolah mereka mendukung ayahku untuk berbicara. “Apa benar kamu ingin sekolah?”. Aku hanya tertunduk dan mengangguk dengan pertanyaan ayahku itu. “Apa kamu mampu sekolah seperti mereka diluar sana?” ada sedikit keanehan dalam pertanyaan ayahku yang ini. “Aku yakin, aku mampu sekolah seperti mereka” jawabku tegas. Ayah dan ibuku hanya tersenyum. “Ayahmu sudah mendaftarkan kamu di SMA Kartika. Mulai besok, kamu sudah bisa sekolah disana” jelas ibuku. Aku sangat gembira mendengar itu. Segera aku berlari menuju kamar dan mempersiapkan untuk hari pertamaku sekolah yang “nyata”, seperti teman temanku.
*****
Hari ini, saat mentari mulai menyapa, aku sudah rapi untuk sekolah pertamaku. Aku bergegas menuju ruang makan untuk sarapan. Pagi ini adalah pagi terindah dalam hidupku. Aku sudah menghafal kalimat untuk memperkenalkan diri pada teman temanku.
          *****
            “Perkenakan, namasaya Reya, saya murid baru di sekolah ini. Senang bertemu kalian” ucapku mantap. Pak Gito, wali kelasku mempersilakanku untuk segera duduk. Aku memandang seisi kelas ini, aku memilih duduk disamping seorang gadis yang sukses menarik perhatianku sejak pertama aku memasuki ruangan ini. Dia terlihat ramah dan tersenyum saat aku duduk disampingnya. “Namaku, Lia” ucapnya memperkenalkan diri dan tersenyum. Aku membalas senyuman itu.
            Jam pelajaran kali ini adalah bahasa inggris, dan tepat setelah ini adalah pelajaran olahraga, pelajaran yang belum pernah ku pelajari. Hingga saat ini, aku belum pernah merasakan apa itu olah raga.
            Saat yang kutunggu kini sudah tiba, aku segera mengganti seragamku dengan kaos olahraga. Aku ingin mencoba semua bidang olahraga yang dipelajari disekolah ini. Aku memulai olahraga pertamaku dengan melakukan pemanasan terlebih dulu, setelah itu aku harus lari mengelilingai lapangan sebanyak 2 keliling, seperti teman-temanku yang lain.
            Satu, dua, tiga,empat, suara hitungan itu saling bersahutan seolah menjadi sebuah melodi yang indah, begitulah yang kudengar. Setelah cukup melakukan pemanasan, aku mulai lari mengelilingi lapangan bersama teman-temanku. Putaran pertama kulalui dengan mudah. Tapi, pada putaran kedua, mulai ada yang aneh denganku, kepalaku terasa sangat berat, pandanganku kabur. Semakin lama, kepalaku makin terasa pusing, dan................
           
*****
            Mata ini terasa sangat berat untuk kubuka. Sayup sayup kudengar suara yang kurasa tak asing lagi. “Lakukan yang terbaik untuk anak saya. Saya mohon” itu suara ibuku, aku tau itu. “Baik, bu” jawaban itu sangat singkat, itu adalah suara laki laki, tapi itu bukan ayahku, suara itu sangat asing di telinga ini.
            Walaupun aku tak bisa membuka mata ini tapi, telinga ini masih bisa mendengar. Sejenak kupikirkan semua percakapan ibuku dengan laki laki tadi. Apa yang terjadi denganku? Kembali kepala ini sangat pusing, dadapun mulai terasa sesak, dan --------------
*****

Aku membuka mataku. Kurasa ini sudah senja, karena lembayung mulai memeluk bumi ini. Aku melihat seluruh ruangan ini, hingga tersadar bahwa ini bukan kamarku, ini rumah sakit. Aku melihat ayahku berdiri dan tersenyum padaku. Perlahan air mata ayahku mulai berjatuhan. Aku tak melihat ibuku. “Ibu dimana, yah?”  ayahku hanya bisa tersenyum dengan air mata yang terus berjatuhan. “Ibu dimana, yah?” aku mengulangi pertanyaanku, kali ini aku ikut mengangis. “Ibumu sangat dekat denganmu, ibumu ada disini” ayahku membimbing tanganku dan berhenti di dadaku. “Ibumu akan selalu menjagamu dengan hat

inya, ibumu sangat menyayangimu”. Aku menangis sejadi jadinya. Aku sangat terpukul mendengar penjelasan ayahku. Mengapa ibu rela memberikan hatinya untukku?? Mengapa??
Aku segera digendong ayahku untuk menaiki kursi roda. Kemudian, setela aku keluar dari rumah sakit, aku menaiki mobil ayahku yang sudah bisa kutebak tujuan kami, pemakaman ibuku.
Kuturuni mobil dan berpindah kembali dengan kursi roda yang sedari tadi kugunakan untuk keluar dari rumah sakit. Aku telah  sampai disini, tempat yang seharusnya menjadi tempat peristirahatanku. Tapi, ibuku melarangku untuk beristirahat disini. Dia menggantikanku untuk beristirahat disini.



Tangisku semakin menjadi ketika aku berada tepat didepan tempat yang seharusnya adalah tempatku. Aku tak bisa berkata apapun, aku hanya bisa menangis menyesali dengan apa yang telah kulakukan. Mungkin senja ini adalah senja tak takkan pernah kulupakan selama hidupku. Senja tersakit, senja yang tak kuharapkan ini benar benar terjadi. Senja terakhir untuk ibuku. Kado terbesar yang ibuku berikan padaku, sebuah kehidupan yang lebih lama dari seharusnya. Maafkakan aku ibu. (Cipt Ana Rainasiar).

Comments